Senin, 02 Mei 2011

konflik Aceh






BAB I
PENDAHULUAN

Setelah Perang Dingin kita banyak menyaksikan banyaknya konflik yang terjadi di dalam suatu Negara, seperti halnya pada Negara bagian Yugolslavia, Bosnia, Macedonia, Kroasia, dan Indonesia. Konflik yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah konflik Aceh dimana dalam konflik Aceh telah memakan banyak korban, baik korban jiwa maupun korban materi. Konflik Aceh terjadi lebih disebabkan karena kekuasaan orde baru yang banyak membuat kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat. Kekecewaan rakyat Aceh dapat terlihat ketika pemerintahan orde baru mencabut undang-undang No 18 Tahun 1965 dengan menetapkan Undang-undang yang baru yaitu UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dimana kita ketahui UU No. 18 tahun 1965 memberikan Aceh daerah istimewa dengan otonomi luas. Peneyelesaian konflik Aceh yang cenderung terlalu bersifat mikiterisasi dengan menetapkan aceh sebagai daerah Operasi Militer, dimana pada saat pelasanaan DOM di Aceh banyak terjadi pelangggaran HAM yang dilakukan oleh oknum TNI/Polri juga membuat konflik Aceh semakin besar karena rakyat Aceh yang menjadi korban DOM ini lebih mendukung GAM di bawah pimpinan Hasan Tiro. Faktor-faktor lain yang menimbulkan munculnya kekecewaan di rakyat Aceh, dan kekecewaan itu terealisasi melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam memahami konflik Aceh perlu dipahami bahwa konflik Aceh adalah konflik yang multidimensional. Tidakkah mungkin untuk menyebutkan satu factor yang menjadi akar konflik. Faktor ekonomi, politik, social dan budaya secara keseluruhan memberikan kontribusi terhadap kompleksitas konflik di Aceh. Maka dari itu, konflik Aceh harus dipahami melalui pendekatan yang komprehensif dari berbagai faktor  dari berbagai faktor seperti: histories, politik, ekonomi, cultural dan hukum. Pemahaman yang akan kita dapat dari pendekatan yang komprehensif tersebut, akan memberikan kita sebuah gambaran bahwa akar permasalahn yang ada di dalam konflik tersebut juga sebaiknya dipandang secara multidimensi.




BAB II
KONFLIK SEPARATIS ACEH DARI BERBAGAI ILMU SOSIAL


A. Sejarah
            Dari segi histories, akar permasalahan konflik Aceh mengarah pada kekecewaan masyarakat Aceh terhadap Republik Indonesia. Kekecewaan masyarakat Aceh diawali ketika Teungku Daud  Beure’uh masuk dalam “Daftar Hitam” yang ingin disingkirkan oleh Pemerintah Pusat. Seperti kita ketahui Teungku Daud merupakan salah satu tokoh rakyat Aceh dalam mengusir penjajah dengan ikut sertanya Teungku Daud bersama Republik dengan cara mengumpulkan dana untuk melawan penjajah. Janji dari Presiden Soekarno untuk memberikan kebebasan rakyat Aceh menerapkan syariat Islam tidak ditepati, semakin membuat pedih rakyat Aceh. Kekecewaan rakyat Aceh yang tidak terbendung akhirnya menimbulkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pada tahun 1953. pemberontakan ini dapat ditumpas pada tanggal 26 Mei 1959 ketika Aceh diberikan otonomi luas, terutama dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Konflik yang terjadi di Aceh khususnya Gerakan Separatisme Aceh berlatar belakang tentang perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Aceh pada tahun 1819 dan Perjanjian Anglo Dutch yang menyatakan bahwa Aceh merupakan Negara yang merdeka, hal inilah yang membuat GAM berusaha mengembalikan kedaulatan tersebut kepada Kesultanan Aceh. 



B. Antropologi
            Dari sudut pandang antropologi konflik Aceh dapat muncul karena adanya peminggiran identitas cultural masyarakat Aceh selama puluhan tahun. Aceh yang kita ketahui merupakan provinsi yang mempunyai ciri khas yakni rakyat Aceh mempunyai identitas social-kultural dan religi yang kuat. Salah satu alasan terjadinya pemberontakan Teungku Daud adalah keinginan Teungku Daud untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, yang pada saat itu disetujui oleh pemerintah pada saat penumpasan pemberontakan DI/TII. Namun rezim Orde Baru membuat sebuah keputusan yang lagi-lagi membuat kekecewaan di hati rakyat Aceh.
Keputusan yang diambil oleh Rezim Orde Baru dengan model politik sentralisme adalah melalui UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, Orde membuat penyeragaman di semua daerah tanpa memperhatikan nilai-nilai local.[1]  Akibat kedua UU tersebut, secara otomatis keistemewaan Aceh akan tereliminasi. Syariat Islam yang sudah menjadi ciri khas dari rakyat Aceh menjadi hilang karena lembaga-lembaga adapt yang ada sejak lama di Aceh harus digantikan oleh struktur pemerintahan modern yang diinginkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal inilah yang membuat kekcewaan rakyat Aceh terhadap pemerintahan pusat semakin besar.


C. Ekonomi
            Factor ekonomi yang menjadi penyebab terjadinya konflik yang dilakukan oleh gerakan separatisme di Aceh (GAM) adalah pada masa Orde Baru kebijakan Pemerintah ditekankan pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Aset sumber daya alam di Aceh dieksploitasi dalam konteks pembangunan ini. Pabrik LNG dan pupk Iskandar Muda yang dibangun di Aceh maju pesat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu eksportir LNG terbesar dan 90% dari produksi pupuk ditujukan bagi ekspor. Namun, berdasarkan kebijakan yang diambil pada masa rezim Orde Baru yang sentralisasi, ekonomi Aceh terkonsentrasi oleh power dan otoritas yang berpusat di Jakarta, maka pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan yang signifikan bila dibandingkan keuntungan pusat yang diperoleh dari wilayah Aceh.  Akibat dari pembangunan yang terlalu banyak di Jakarta adalah rakyat Aceh mengalami kesengsaraan dan kesusahan dimana di wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur tercatat 2.275 desa miskin pada tahun 1993. Hal ini membuat rakyat Aceh sadar bahwa yang seharusnya menikmati hasil dari sumber daya alam adalah masyarakat Aceh sendiri bukan pusat. Hal inilah yang membuat rakyat Aceh semakin kecewa dengan pemerintah pusat. Kesadaran rakyat Aceh tentang ketidakadilan pusat terhadap Aceh dimanfaatkan oleh GAM, dimana GAM memperoleh kekuatan setelah industri gas dan minyak di Aceh Utara berdiri pada tahun 1970.

D. Politik
            Di bidang politik awal konflik disebabkan karena rakyat Aceh tidak memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan dalam Pemilu. Selain itu sisitem pemerintahan sentralistis pada masa Orde Baru memberikan posisi tawar yang lemah bagi Aceh sehingga ditempatkan dalam posisi yang sejajar dan hanya melayani kepentingan pusat dengan eksploitasi politik dan ekonomi. Melalui system poltik yang sentralistis, pemerintah pusat menciptakan jaringan elite local yang menjadi boneka dari pemerintah pusat dan banyak memberikan keuntungan pada elite pamerintah pusat membuat kekcewaan rakyat Aceh semakin besar dan menjadi akar permasalahan yang memberikan sumbangan besar terhadap konflik di Aceh yang terealisasi melalui GAM.

E. Sosiologi
            Pusat Dari sudut pandang sosiologi konflik Aceh lebih dikarenakan tidak harmonisnya hubungan antara Aceh dengan Pemerintah. Hubungan antara Aceh dengan pemerintah pusat sudah tidak harmonis sejak national building pada masa pemerintahan Soekarno dan Pembangunan Sentralistik pada masa Soeharto.  Hubungan yang tidak harmonis antara pusat dan Aceh adalah karena pemerintah pusat merasa adanya ancaman dari Aceh karena Aceh merupakan daerah yang memiliki identitas regional, etnis dan nasionalisme yang kuat. Hubungan yang tidak harmonis inilah yang akhirnya menjadi pemicu dua pemberontakan di Aceh yaitu pemberontakan DI/TII dan pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).



F. Geografi
            Letak Aceh yang berada di ujung barat Indonesia menyebabkan Aceh merasa daerah yang layak untuk merdeka. Selain itu sumber daya alam Aceh yang melimpah, seperti yang kita ketahui bahwa Aceh merupakan wilayah yang kaya akan cadangan gas alamnya yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu Negara eksportir gas alam. Hal inilah yang menyebabkan rakyat Aceh ingin sekali melepaskan diri dari Indonesia karena pemerintahan Indonesia sendiri sangat berlaku tidak adil terhadap rakyat Aceh terutama pada masa rezim Orde Baru berkuasa yang menerapkan politik sentralistisnya. Letak wilayah Aceh yang strategis karena Aceh terletak didekat selat malaka yang merupakan wilayah yang padat akan lalulintas perdagangan sehingga dapat menghasilkan banyak devisa dapat juga menjadi salah satu factor yang menyebabkan rakyat Aceh ingin melepaskan diri dari wilayah NKRI.

Penutup
            Konflik yang terjadi di Aceh merupakan konflik yang terjadi karena rasa kekecewaan yang telah lama terpendam di hati rakyat Aceh yang merasa sangat dirugikan oleh pemerintahan Indonesia. Hubungan yang kurang harmonis antara Aceh dengan pemerintah pusat dan juga masalah pembagian hasil keuntungan yang sangat merugikan Aceh membuat konflik di Aceh sremakin rumit. Kekecewaan rakyat Aceh akhirnya terealisasi oleh pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Aceh seperti pemberontakan DI/TII dan GAM. Pemberontakan yang terjadi di Aceh akhirnya dapat diredakan dengan dijanjikan kepada rakyat Aceh oleh pemerintah pusat, seperti rakyat Aceh diberikan kebebasan dalam hal pendidikan, agama dan adat. Namun, rakyat Aceh yang secara hukum telah diberikan kebebasan dalam hal pendidikan, agama dan adat namun pada kenyataanya kebebasan tersebut hanyalah suatu angan-angan yang dijanjikan oleh pemerintah pusat. Hal ini berakibat kekcewaan rakyat Aceh semakin besar dan mungkin pada suatu saat nanti rasa kecewa ini akan muncul ke permukaan apabila pemerintah pusat masih kurang serius dalam menanggapi masalah di Aceh ini.


[1] Tim Peneliti LIPI, op. cit, hlm. 54-55